Berita

Revisi UU ITE, Mahfud MD: Jangan Alergi Perubahan

Jumat, 26 Februari 2021 - 00:42
Revisi UU ITE, Mahfud MD: Jangan Alergi Perubahan Menko Polhukam Mahfud MD. (FOTO: Humas Polhukam)

TIMES PURBALINGGA, JAKARTA – Persatuan  Wartawan Indonesia (PWI) menggelar webinar  bertajuk "Menyikapi Perubahan Undang-undang Infomatika dan Teknologi (UU ITE), Kamis (25/2/2021).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui, setelah berlaku hampir 12 tahun, pasal karet dalam UU ITE harus dilakukan revisi, karena dinilai merugikan masyarakat.

"Kita sedang mendiskusikan kesepakatan baru. Jadi, jangan alergi terhadap perubahan itu. Karena di dalam ilmu hukum selalu diajarkan perubahan yang disesuaikan. Tidak ada hukum yang berlaku abadi. Yang penting masyarakat berubah," kata Mahfud

Dikatakannya, jika dalam UU ITE ada watak pasal karet bisa direvisi. "Apakah dengan mencabut atau menambah norma baru, bisa saja dilakukan di dalam kerangka itu, bahwa hukum adalah kesepakatan yang dibuat. Saat ini kita sedang mendiskusikan kesepakatan baru. Jadi, jangan alergi terhadap perubahan itu karena di dalam ilmu hukum selalu diajarkan perubahan yang disesuaikan, Tidak ada hukum yang berlaku abadi, yang penting masyarakat berubah," paparnya.

Menurut Mahfud, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. "Hukum itu berubah jika alasannya berubah, sesuai dengan pilahnya, jangan takut merubah hukum. Tidak bisa diingkari sejak dahulu, hukum itu selalu bisa diubah sesuai perubahan jaman. Kita punya kebutuhan hukum sendiri, hukum bisa berubah dengan waktu, tempat. Untuk itulah pemerintah, menyambut baik webinar yang diadakan PWI ini," urai Mahfud.

Pakar hukum Abdul Fikar Hadjar SH MH mengakui permasalahan di UU ITE pada dasarnya permasalahan yang timbul hampir sebagian besar antara orang per-orang.

Jadi, lanjutnya, harusnya bisa dilarikan ke urusan perdata, karena itu resminya ada sikap yang jelas dari penegak hukum, tidak semua laporan diterima, saringannya adalah pendapat.

"Kualifikasi ujaran mana yang termasuk kritik, pencemaran nama baik. Di luar itu, tidak masuk kualifikasi. Yang jadi soal, saat ini semua masuk laporan, yang terakhir kasus Abujanda. Setelah itu baru muncul idenya untuk merevisi. Butuh penjelasan, bisa dibedakan mana politik mana pidana," tutur Abdul Fikar Hadjar.

Karena itulah, Abdul Fickar Hadjar menghimbau agar aparat penegak harus ketat dalam menerima laporan, dan itu sudah dilakukan kepolisian. "Itu diinspirasi oleh niat presiden," selorohnya.

Abdul Fickar juga sepakat jika pasal 27 dan 28 direvisi, karena tidak semua ujaran dianggap pencemaran. Sebab yang ditakutkan adalah ancaman hukumannya.

"Lebih dari lima tahun, bisa ditangkap, itu yang menakutkan. Namun jika di KUHAP kurang dari lima tahun ancaman hukumannya tidak bisa ditahan," ungkapnya.

Wakil Ketua DPR RI, Aziz Samsudin mengatakan pasal-pasal yang berkatian dengan UU ITE antara lain pasal 27, 28, 36 dan 40  menjadi perhatian  semua masyarakat dan penegak hukum, bagaimana UU ITE menyikapi.

"Kami di parleman menunggu dari kesepakatan partai untuk membahas dan menyikapi hal ini, untuk disetujui bersama pemerintah.Apabila disetujui, tentu menjadi bahan diskusi. Hingga hari ini, pembahasan tentang itu belum ada, baru wacana di media. Tentu akan menjadi bahasan. Intinya DPR menunggu kesepakatan yang diambil pemerintah dan parlemen untuk dibahas dengan 9 partai di parlemen," jelas Aziz.

Pada kesempatan tersebut Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengakui terkait maraknya permintaan revisi UU ITE. Nuh mengungkapkan, UU ITE yang disusun pada 2008 awalnya memang tidak diharapkan berfungsi seperti saat ini. 

"Saya mikir kok rasanya dulu tidak begini. Dulu kita ingin memberi kepastian hukum transaksi teknologi, tapi kok tiba-tiba urusan caci maki," ucap M. Nuh. 

Nuh menyebut UU ITE kini menjadi ganjalan bagi demokrasi di Indonesia. Tidak saja di lapisan masyarakat, wartawan pun banyak dirugikan karena dilaporkan ke pihak berwajib dengan merujuk UU ITE.

Muh. Nuh melanjutkan, awalnya ide dari ITE untuk memberikan payung transaksi-transaksi ekonomi, dan perkembangan informasi digital Indonesia. 

"Dulu itu kan tanda tangan harus tanda tangan basah, yang punya legal standing diteken pakai meterai, cap stempel dan lainnya. Faks juga belum punya dasar, sekarang sudah bisa dijadikan produk hukum," imbuhnya.

Diterangkan Nuh, melalui Surat Edaran Kapolri mengenai Penanganan Perkara UU ITE belum cukup untuk bisa melindungi masyarakat. 

"Saya coba pahami begitu Kapolri keluarkan aturan kalau sudah minta maaf tidak perlu dipenjara, tapi penting agar UU ITE ini dibuat turunan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) yang memang berikan perlindungan rasa keadilan pada masyarakat," tandasnya.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Pusat Atal S Depari saat memberikan sambutan pada acara Webinar mengatakan UU ITE seharusnya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

"Bukan justru UU ITE ini malah menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapat berbeda dan kritis. Sedangkan check and balance merupakan kehidupan demokrasi yang baik," ujar Atal. (*)

Pewarta : Iwa Ahmad Sugriwa
Editor : Ahmad Sugriwa
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Purbalingga just now

Welcome to TIMES Purbalingga

TIMES Purbalingga is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.