TIMES PURBALINGGA, JAKARTA – Gelombang perdebatan publik kembali membuncah seiring mencuatnya wacana pengangkatan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Isu yang berulang hampir setiap dekade ini kembali menimbulkan polarisasi tajam di ruang publik, memisahkan antara mereka yang menilai Soeharto sebagai Bapak Pembangunan dan mereka yang menganggapnya simbol otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Laporan terbaru DEEP Indonesia bertajuk Analisis Sentimen Publik: Soeharto Jadi Pahlawan, Suara Netizen Terbelah mencatat, sejak 1–10 November 2025 terdapat 5.989 pemberitaan di media arus utama dan 39.351 percakapan di media sosial terkait isu tersebut. Data diambil dari berbagai platform, meliputi media online, cetak, elektronik, serta media sosial seperti X (Twitter), Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok.

Hasilnya menunjukkan, media arus utama secara umum menampilkan wajah yang lebih ramah terhadap narasi pro-Soeharto, sedangkan sebagian besar perbincangan publik di media sosial justru memunculkan sikap kritis dan resistensi terhadap ide tersebut.
Dalam data DEEP Indonesia, media mainstream mencatat 73% sentimen positif, hanya 21% negatif, dan 6% netral. Narasi positif yang mendominasi bersumber dari pemberitaan media yang menyoroti jasa Soeharto di bidang pembangunan, stabilitas nasional, dan keberhasilan swasembada pangan di era 1980-an.
Beberapa organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bahkan menyuarakan dukungan terbuka terhadap rencana pengangkatan tersebut. Mereka menilai, jasa Soeharto dalam memperkuat fondasi ekonomi dan menjaga stabilitas politik menjadi alasan kuat untuk memberikan penghargaan negara.
“Beliau bukan hanya pemimpin pemerintahan, tapi juga figur yang berperan menjaga kohesi sosial bangsa,” demikian salah satu pernyataan yang dikutip dari tokoh ormas Islam dalam laporan tersebut.
Platform X atau Twitter mencatat kecenderungan serupa. Sentimen positif mencapai 71%, dengan hanya 9% negatif dan 20% netral. Dominasi ini, menurut analis DEEP, bisa menandakan adanya kampanye terkoordinasi dari kelompok pro-Soeharto atau resonansi kuat dari narasi pembangunan yang diwariskan Orde Baru.
Berbeda dengan media arus utama, percakapan di media sosial lebih variatif dan kritis. Di Facebook, sentimen netral mendominasi dengan 38%, diikuti 35% negatif dan 26% positif. Sementara di YouTube, konten bernada kritik terhadap Soeharto jauh lebih kuat: 39% negatif, 38% netral, dan hanya 23% positif.
Video-video dokumenter, podcast sejarah, hingga diskusi tentang tragedi pelanggaran HAM masa Orde Baru banyak beredar di YouTube sepanjang pekan ini. Konten dengan tagar #TolakSoehartoPahlawanNasional bahkan sempat menempati trending di beberapa wilayah, menggambarkan keresahan publik terhadap upaya “penormalan sejarah kelam” tanpa akuntabilitas.
Di platform visual seperti TikTok dan Instagram, mayoritas konten cenderung netral (masing-masing 57% dan 58%). Namun, tren komentar yang muncul memperlihatkan bahwa pengguna muda menilai isu ini sebagai “pembelokan sejarah” jika negara memberikan gelar pahlawan tanpa penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan korupsi masa lalu.
Data DEEP Indonesia mengelompokkan dua narasi besar dalam perdebatan ini.
Pertama, narasi positif, yang menekankan pada keberhasilan Soeharto dalam membangun fondasi ekonomi, menjaga stabilitas politik, dan memodernisasi birokrasi. Dalam narasi ini, Soeharto dianggap berjasa meletakkan dasar kemajuan nasional pasca kekacauan politik era 1960-an.
Ia disebut sebagai “penjaga stabilitas” dan “arsitek pembangunan”, bahkan oleh beberapa kalangan disebut “bibit Muhammadiyah” karena kedekatannya dengan nilai-nilai keislaman moderat.
Kedua, narasi negatif, yang bersumber dari aktivis HAM, akademisi, dan kelompok korban rezim Orde Baru. Mereka menilai pemberian gelar pahlawan adalah bentuk “pengabusan sejarah koruptif” dan “penodaan integritas moral bangsa”.
Sejumlah peristiwa seperti Tragedi 1965/1966, Peristiwa Tanjung Priok, penembakan misterius (Petrus), serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) disebut sebagai bukti bahwa Soeharto tidak layak menerima gelar pahlawan.
“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama dengan menulis ulang luka sejarah bangsa,” tulis salah satu unggahan yang viral di media sosial, dikutip dalam laporan DEEP.
Pertarungan Narasi di Ruang Digital
Analis DEEP, Neni Nur Hayati, menyebutkan bahwa fenomena ini menggambarkan pertarungan narasi antara “memori pembangunan” dan “memori pelanggaran”. Media arus utama masih banyak menonjolkan keberhasilan material masa Orde Baru, sedangkan masyarakat digital lebih berfokus pada akuntabilitas moral dan pelanggaran kemanusiaan yang belum diselesaikan.
“Polarisasi ini bukan sekadar soal pro atau kontra terhadap Soeharto, melainkan pertarungan identitas bangsa—apakah kita akan mendefinisikan pahlawan dari keberhasilan pembangunan atau dari integritas moral,” ujarnya dalam keterangan resmi.
DEEP Indonesia menegaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam menanggapi aspirasi yang sangat terbelah ini. Keputusan apapun yang diambil memberi atau tidak memberi gelar pahlawan kepada Soeharto akan berdampak jangka panjang terhadap cara generasi muda memahami sejarah Indonesia.
“Menormalisasi pelanggaran masa lalu berisiko melukai keadilan yang belum tuntas. Namun, menafikan seluruh kontribusi Soeharto juga bisa dituduh sebagai upaya menghapus bagian penting dari perjalanan bangsa,” tulis laporan itu.
Lembaga riset ini merekomendasikan agar setiap kebijakan terkait penghargaan negara disertai mekanisme rekonsiliasi dan edukasi sejarah yang berimbang, bukan sekadar seremoni atau simbol politik. Dengan demikian, penghargaan tidak hanya diukur dari capaian pembangunan, tetapi juga dari integritas terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kini bukan lagi sekadar perdebatan sejarah, melainkan cerminan konflik moral dan memori kolektif bangsa. Di satu sisi, ada generasi yang tumbuh dengan nostalgia Orde Baru yang stabil dan tertib; di sisi lain, ada generasi reformasi yang menuntut keadilan dan kebenaran.
Apapun keputusan pemerintah nanti, perdebatan ini menunjukkan satu hal penting: bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin nilai yang terus diuji oleh bangsa ini hari demi hari.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: 5.989 Berita dan 39 Ribu Percakapan Warnai Perdebatan Gelar Pahlawan Soeharto
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |